Sabtu, 10 November 2007

Membangun Kembali Negeri dengan Semangat Hari Pahlawan


Peristiwa itu terjadi enam puluh dua tahun yang lalu. Mayor Jenderal Mansergh mengultimatum arek-arek Suroboyo untuk menyerah sampai batas akhir tanggal 10 November 1945 pagi hari. Ketika batas akhir ultimatum tiba, arek-arek Suroboyo melakukan perlawanan secara kolosal. Mereka mengerahkan segenap jiwa, raga dan harta benda untuk sebuah kemerdekaan. Hari itu menjadi puncak perjuangan arek-arek Suroboyo dengan bekal kesederhanaan,ketulusan dan kesatuan untuk mempertahankan kedaulatan negara dari kolonialisme.
Hari bersejarah itu lahirdi kota ini. Kota dengan semangat juang tinggi. Kota dengan pahlawan bernama Bung Tomo yang belum resmi diangkat sebagai Pahlawan Nasional hingga kini. Jauh tanpa hal tersebut Surabayatelah berjuluk kota Pahlawan.
Tahun-tahun pertama dilalui dengan predikat sebagai kota Pahlawan, kebanggaan kuat tercermin dari semangat penerus kemerdekaan kala itu. Kota yang luluh lantak akibat peristiwa heroik nan berdarah, mampu dibangun kembali. Walau pun perlahan namun melahirkan Surabaya dengan unsur khas kepahlawanan. Jembatan merah menjadi saksi bisu. Jalan veteran terasa sangat kebelandaan. Begitu pun hotel Yamato yang telah beralih nama menjadi hotel Majapahit.
Wajah Surabaya telah banyak berubah. Hadiah kemerdekaan dari para pahlawan diisi generasi penerus dngan pembangunan yang berkembang pesat. Akan tetapi, generasi penerus belum memekikkan semangat juang sekencang pahlawan terdahulu.
Mengisi kemerdekaan tidak semudah ketika merebut. Napak tias dan derap langkah para pahlawan kini kurang mendapat tempat di hati para penerusnya. Apalagi jika berbicara semangat juang. Sekarang ini situasi dan kondisi semakin kompleks. Ketika perjuangan hanya dikaitkan dengan penjajahan dan kemerdekaan, maka bangsa mana lagi di dunia yang masih terjajah dan belum merdeka? Mungkin hanya Palestina. Surabaya bukanlah Palestina. Inggris ataupun NICA sudah tak manjajah Surabaya. Kota kita telah bebas dari penindasan sekutu.
Masalahnya, tanpa sadar generasi penerus menjajah dan menindas diri sendiri. Penjajahan itu terlihat dalam bentuk kemunduran moral dan kemalasan. Penindasannya berwujud tinadakan-tindakan semu berpangkal pada emosional. Kemalasan yang kian berakar, merambat pada kemunduran moral yang berakibat rendahnya pertahanan, patriotisme dan rasa juang generasi penerus.
Pola hidup santai. Meraih segala sesuatu tanpa bekerja keras. Lebih mudah menerima daripada memberi. Jelas! Memberi sesuatu yang kita punya atau kita dapatkan, memerlukan kebesaran hati. Sebuah modal yang belum dimiliki oleh sebagian besar generasi penerus. Berbeda dengan “menerima”. Posisi ini tak membutuhkan modal sebesar “memberi”. Diam, berpangku tangan lalu datanglah keajaiban. Mudah bukan? Maka dari situlah, penindasan mengatasnamakan penerimaan terjadi. Tanpa usaha nyata.
Pada akhirnya hanya menerima dan menikmati. Kemerdekaan sudahlah tentu hasil kerja keras para pahlawan untuk kita, generasi penerus. Hadiah itu lebih dari sekedar nafas dan harapan untuk hidup baru. Kehidupan dengan keteraturan, kemapanan, keharmonisan serta ketentraman.
Siswa-siswa di Surabaya masih banyak yang mengabaikan arti penting sebuah pendidikan. Kalaupun bersekolah, mungkin sebatas kehadiran, nilai-nilai tinggi pada mata pelajaran dan kegembiraan berkumpul dengan teman-teman. Para profesional pun tak sama berbeda. Keberhasilan dalam bertanggung jawab pada pekerjaan sudah tak diragukan. Tak jarang di antaranya yang mengambil pekerjaan tambahan. Orientasinya berujung pada materi. Mereka melupakan, bagaimana bekerja “atas nama” keluhuran bangsa?
Bisa dikatakan, generasi penerus telah mengabaikan tanggungjawab sebagai anak negeri yang terbiasa hidup “gemah ripah loh jinawi”,namun belum mampu menyikapi keadaannya sendiri. Mereka yang konon senantiasa “bersumpah pemuda” dengan meneladani nilai-nilai kepahlawanan. Dalam artian, menuntut ilmu untuk membangun bangsa yang cerdas dan bekerja keras untuk memperkokoh karakter kuat bangsa, sepertinya mulai lupa dengan sumpah mereka.
Sumpah pemuda dan hari Pahlawan tercetus dari satu semangat demi satu tujuan. Semangat juang pahlawan yangbertujuan mempertahankan kemerdekaan lahir maupun batin. Itulah dahaga arek-arek Suroboyo dalam momentum kepahlawan ini! Bangsa Indonesia, luasnya!
Sesungguhnya, tak ada penghargaan lebih mulia untuk para pahlawan dibanding dengan perjuangan yang diteruskan oleh generasi sesudah mereka. Tak ada kemerdekaan yang lebih hakiki dibanding dengan menghilangkan rasa takut untuk menyikapi permasalahan bangsa ini.

Written by : Encik Lila (Ilmu Komunikasi, 2006)

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger