Kamis, 29 November 2007

Daun Dihembus Angin

Berbagai fenomena terus terjadi di seluruh belahan dunia. Setiap orang bisa mengerti, melalui apa yang dilihat dan didengar. Dari fenomena itulah menjadi infoermasi yang terpikir adanya gejala-gejala dan dampak yang terjadi sehingga timbul bagaimana cara menyampaikan informasi kepada publik. Komunikasi menjadi bukti sebagai perantara kepada publik, bahkan sarana-sarana publikasi atau media dapat dikatakan mampu mencapai dan memenuhi kebutuhan publik akan informasi. Media elektronik dan media cetak, seluruh masyarakat dipenjuru dunia telah memanfaatkan sarana ini untuk memenuhi kebutuhan informasinya, selain itu interaksi komunikasi pun dimanfaatkan dengan adanya dua jenis media tersebut. Ada salah satu yang terlupakan, walaupun secara formal tidak resmi bahkan tidak tampak kasat mata, media lisan mampu menyebarkan informasi secara hebat.
Menuju pada ruang publik yang lebih sempit, bisa kita lihat Indonesia. Adanya Undang-Undang yang menjamin kebebasan berpendapat menjadi kekutan atas timbulnya perusahaan media untuk memenuhi kebutuhan publik. Tampak ketika pasca reformasi, membludaknya media dan kebebasan berpendapat semakin memperkuat fungsi kontrol, perubahan media terhadap pemerintahan atau berokrasi, sarana mendidik dan bahkan kebutuhan-kebutuhan lain sebagai pemanfaatan media.
Pers Mahasiswa sebagai status, UPN News adalah media kami, dan ruang lingkup pemenuhan informasi kami adalah kampus UPN “Veteran” JATIM, bahkan kebutuhan informasi masyarakat sekitar pun coba kami penuhi. Keberadaan yang tampak sejak tahun 1996, misi perubahan atas gejala-gejala sosial lingkungan masyarakat dan lingkungan kampus membuat kami berusaha mengungkap dan menelusuri segala fenomena menjadi sebuah fakta.
Seperti daun di ranting tak sendirinya melayang
Hingga ujung dunia tanpa dihembus angin,
Seperti jubah kita tak sendirinya bercerita
Tentang cinta

Seperti buku sejarah tak pernah bercerita
Tentang rakyat yang kalah, seperti
Setiap penguasa tak pernah bercerita
Tentang luka

Rabu, 28 November 2007

Gita Family

Giri Taruna, sebut saja Gita lahir pada tanggal 24 Juli tahun 2006.  Organisasi jurnalistik ini menerbitkan buletin UPN News secara berkala, maksudnya kala-kala terbit kala-kala nggak!hehehe... Bulletin UPN News awalnya terbit dengan jumlah 4 halaman, dan alhamdulillah UPN News telah mencoba menerbitkan 1 bulletin dengan jumlah 16 halaman dan yang terakhir berjumlah 20 halaman. Bulletin yang pertama kami menyebutya dengan bulletin coklat. Disebut begitu, karena bulletin ini bersampul warna coklat dengan cover story UKM-UKM yang tidak diikutkan SIMADA. Bulletin ini disebarkan sekitar bulan Juni tahun 2007 sebanyak 500 eksemplar. Buletin-buletin ini dibagikan merata ke seluruh antero penjuru UPN. namun sayangnya bulletin ini kurang mendapat respon positif dari teman-teman mahasiswa ataupun ormawa.

Minggu, 11 November 2007

Ada Linux di UPN

Seiring dengan berkembangnya teknologi, ilmu pengetahuan pun berkembang. Kemunculan Linux dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan, menggoda mereka yang hobi mengutak-utik computer untuk menajajl system baru tersebut. Sistem ini dapat berinteroperasi secara baik dengan system operasi yang lain, termasuk Apple, Microsoft dan Novell.
Sebenarnya Linux tidak berbeda jauh dengan sistem operasi yang pernah ada sebelumnya. Hanya satu hal yang dapat membedakan Linux dengan sistem operasi lainnya adalah harga. Linux lebih murah dan dapat diperbanyak serta didistribusikan kembali tanpa harus membayar fee atau royalty kepada seseorang. Selain pertimbangan harga, Linux lebih unggul dalam source code. Source code Linux tersedia bagi semua orang sehingga setiap orang dapat terlibat langsung dalam pengembangannya.
Linux tersedia secara bebas di internet. Oleh karena itu, berbagai vendor telah membuat suatu paket distribusi yang dapat dianggap sebagai versi kemasan Linux.
Arek-arek jurusan Teknik Informatika (TF) pun tak ingin ketinggalan mencoba sistem operasi berlogo penguin ini. Karena itulah, akhirnya lahir Komunitas Linux (KoLu) di UPN “Veteran” Jatim. Sekretariat KoLu yang berada di gedung Giri Santika Fakultas Teknologi Industri (FTI) lantai 2 ini menyediakan tempat bagi mereka yang ingin belajat Linux. Dari depan gedung, setelah naik lantai 2 langsung belok kiri, kita dapat menemukan ruang KoLu yang selalu ramai dikunjungi oleh mahasiswa.
Menurut salah satu senior KoLu yang bernama Faizal (Teknik Informatika, 2003) sebenarnya komunitas ini sudah ada sejak lama, tapi baru diresmikan 3 Januari 2007. Atas kesepakatan bersama, Aswin (Teknik Informatika, 2004) ditunjuk sebagai ketua KoLu. Setelah itu dibentuklah daftar piket dari sebagian anggotanya yang bertugas harian untuk menjaga, melayani dan membantu hal-hal yang berhubungan dengan KoLu dan Linux.
Di ruangan ini ada 8 komputer, sebagian dari mahasiswa sendiri namun ada beberapa monitor yang disediakan oleh kampus. Di KoLu ini kita bisa melakukan programming, menginstal, nge-print, maupun belajar mengenai Linux. Mahasiswa semua fakultas boleh terlibat secara langsung di dalam organisasi ini. Namun, untuk menjadi programming perlu disekelsi dulu.
Anak-anak KoLu ini juga sering mengadakan pelatihan di THR dan kerjasama dengan komunitas Linux universitas lain serta kalangan umum. Menurut Faizal, mahasiswa yang merangkap jadi Asdos ini, sistem operasi ini memang bisa memecahkan kepala. Namun, bila ada yang mengalami kesulitan masalah Linux, dia bersedia memberikan keyword yang bisa membantu pengoperasionalannya.
Faizal juga mengatakan kalau tim KoLu akan merencanakan kerjasama dengan AK Radio atau UPN TV yang ada di FISIP, namun sampai saat ini rencana tersebut belum terealisasikan mengingat mahasiswa berkacamata ini masih sibuk dan belum sempat ke FISIP.
Nah, buat kamu-kamu yang ingin mengenal atau belajar lebih jauh tentang Linux, bisa langsung dating ke Giri Santika lantai 2.

Ada Apa dengan Parkir di UPN?


Adanya parki illegal saat jam kuliah berlangsung, sering dijumpai hampir di semua fakultas. Ini terbukti dengan keberadaan beberapa kendaraan mahasiswa yang diparkir di sebelah barat gedung Fakultas Ekonomi (FE) 2, padahal parkir tersebut disediakan untuk parkir mobil dosen. Masalah yang sama juga terjadi di Fakultas Teknologi Industri (FTI) tepatnya di belakang gedung Giri Santika.
Banyak kendaraan roda dua mahasiswa yang tidak diparkir pada tempat yang semestinya sehingga jalan yang biasa digunakan untuk akses utama keluar masuk itu terkesan semrawut karena disesaki oleh banyaknya sepede motor.
Menurut Affandi (Teknik Informatika, 2006) adanya parkir yang tidak pada tempatnya memang sangat disayangkan. “Yak arena tidak ada tindak lanjut dari fakultas untuk menertibkan hal seperti ini, mau gimana lagi, tapi misalkan ada motor yang hilang ya jangan salahkan pihak universitas,” ketusnya. Lain halnya dengan Basuki Rahmat (Teknik Informatika, 2005), mahasiswa yang identik dengan rambut gondrongnya itu mengatakan, “Silakan saja parkir, gak ada yang nglarang kok. Wong udah dipersilakan sama Kajur (Kajur TF_red) kalo anak-anak mau, parkir di sini saja,” imbuhnya.
Juru parkir (jukir) pun angkat suara, mereka menilai parkir ilegal yang kerap terjadi belakangan ini dikarenakan kurangnya kesadaran para pemilik kendaraan. “Sebenarnya sudah ada peraturannya, tuh coba anda lihat di depan pintu masuk (pintu 2_red), itu kan sudah ada rambunya. Saya yakin semua mahasiswa itu sudah tahu kalau ada parkir di sini,” kata Budi yang merupakan salah satu jukir di kampus UPN.
Jukir yang telah empat tahun bertugas di UPN ini mengaku tidak pernah menarik uang bagi mahasiswa yang akan memarkir kendaraannya di sini. Namun demikian, penarikan saat ada kunci kendaraan yang tertinggal karena lupa memang pernah terjadi. “Itu sukarela. Kalo mahasiswa bilang nggak ada uang juga nggak apa-apa ambil saja, kalau ada ya seikhlasnya cuma sekedar ganti ngopi,” jelasnya.
Sementara itu, dari pihak-pihak yang berwenang dan bertanggung jawab dalam masalah ini belum mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diharapkan mampu memberikan solusi.

Kapan Mahasiswa Mendapat Haknya?

Sudah ada sejak dari zaman dahulu, bahwa seseorang berhak mendapatkan semua haknya jika kewajiban sudah dilaksanakan. Di lingkungan pendidikan, termasuk di kampus, hal mahasiswa yang paling jelas terlihat adalah fasilitas dari kampus. Mahasiswa telah memenuhi kewajiban mereka dengan membayar uang SPP tiap tahunnya dan fasilitas yang memadai menjadi hak mereka.
Begitu banyak fasilitas untuk kita, mahasiswa di UPN “Veteran” Jatim ini. Mulai dari ruang kelasnya yang nyaman untuk perkuliahan, laboratorim dengan peralatan lengkap, pusat komputer, pusat bahasa, perpustakaan, klinik, kantin, toilet sampai tempat parkir. Namun, apa jadinya jika fasilitas-fasilitas tersebut tidak lagi bisa dikatakan layak untuk digunakan? Bukankah itu berarti kita telah kehilangan hak kita?
AC di kelas banyak yang mati, sampai-sampai pernah ada seorang dosen mengatakan berada di fakultas pertanian serasa berada di Ethiopia. Selain itu, masih banyak toilet yang tidak terawat padahal ada petugas cleaning service yang bertugas membersihkan beberapa fasilitas kampus. Di fakultas ekonomi pernah ada yang melaporkan tentang toilet yang sangat perlu perawatan. Laporan itu mendapat tanggapan, namun hanya saat itu saja. Saat tidak ada yang mengeluh, toilet tidak lagi penah dijamah cleaning service.
Fasilitas lain yang hingga sekarang belum terealisasikan adalah rencana pembangunan student center di sebelah barat gedung Giri Santika Fakultas Teknologi Industri (FTI) dan sport center di sebelah barat gedung Fakultas Hukum (FH). Sudah sejak beberapa tahun yang lalu plang “di sini akan dibangun….” Itu ada, namun tak pernah terlihat akan ada realisasi dari rencana tersebut.
Sementara itu, ada keadaan yang kontras sekali dengan situasi di atas, yaitu FH. Lampu-lampu ruang kelas di fakultas termuda UPN “Veteran” Jatim ini bahkan masih terang benderang saat jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB lewat. Sangat tidak mungkin masih ada aktivitas kuliah ataupun aktivitas dari Ormawa hukum pada jam tersebut. Lalu, untuk apa lampu-lampu itu masih tetap dibiarkan menyala? Sedangkan gedung Giri Santika FTI, hanya lampu di ruang Komunitas Linux (Kolu) yang menyala karena masih ada aktivitas para anggota Kolu di dalamnya. Selain itu. Selain itu, gedung-gedung fakultas lain sudah gelap dan hanya lampu utama di pintu masuk gedung yang dibiarkan menyala. Muncul satu pertanyaan, apakah karena FH masih muda dan masih takut gelap?
Kondisi lain yang tampak kurang seimbang adalah lapangan tenis yang berada di sebelah barat GSG Giri Loka. Lapangan yang seharusnya bisa dimanfaatkan mahasiswa yang hobi bermain tenis atau mereka yang tergabung dalam UKM tenis, kenyataannya lebih didominasi oleh dosen atau orang-orang dari luar UPN. Mereka menyewa lapangan itu mulai 15.00 – 22.00 secara bergantian. Salah seorang anggota UKM tenis pernah mengeluh bahwa UKM tenis diberi jadwal pada pagi hari untul berlatih di lapangan tenis UPN. Yang jadi pertanyaan, bukankah sebagian besar mahasiswa sedang sibuk dengan aktivitas kuliahnya pada pagi hari? Lalu, kapan mahasiswa bisa benar-benar mendapatkan haknya?

Sabtu, 10 November 2007

Uang Makan dan Kenaikan Gaji


Menurut sebagian besar orang, cleaning service hanya pekerjaan rendahan, pekerjaan kasar, pekerjaan yang hanya menghasilkan sedikit uang dan pastinya pekerjaan ini tidak banyak dilirik orang.
Pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga ini memang rata-rata dilakoni oleh orang dengan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi atau bahkan orang yang tidak berpendidikan. Namun, di balik semua keminimalitasan itu dan tanpa disadari keberadaan mereka sesungguhnya begitu penting. Pernahkah terbayang apa yang terjadi apabila tidak ada cleaning service? Bias dikatakan cleaning service adalah orang yang sangat berjasa bagi banyak orang, tanpa mereka tempat-tempat umum tidak akan sebersih saat ini.
Sutotok, pria asal Malang yang merantau ke Surabaya sejak tahun 1978 ini adalah salah satu cleaning service yang bekerja di UPN “Veteran” Jatim. Pria yang usianya hampir menginjak kepala empat ini bertugas membersihkan taman dan jalan-jalan yang ada di sekitar gedung Fakultas pertanian. Ketika ditemui untuk berbincang-bincang, dengan senang hati, Sutotok yang sudah bekerja sebagai cleaning service selama tiga tahun ini, menuturkan suka dukanya dalam menjalani pekerjaan tersebut.
Diceritakannya bahwa sekitar pukul empat pagi, dia sudah harus mengayuh sepeda tuanya menuju UPN dari Karang Menjangan, tempatnya tinggal bersama dengan seorang istri dan anak satu-satunya yang saat ini sudah menikah. Ia mulai bekerja pukul 06.00 – 17.00 WIB. Pria berperawakan kurus ini menuturkan bahwa tidak mudah menjadi seorang cleaning service, karena menurutnya cleaning service bukanlah pekerjaan yang ringan. “Banyak yang nyuruhnya pingin cepet, padahal kan saya juga lagi kerja,” tuturnya. Ketika ditanya tentang upah yang dia terima, dia menjawab bahwa dia hanya menerima upah sebesar Rp 400.000,- per bulan tanpa tambahan apapun. Sutotok sempat mengeluh, karena tidak adanya asuransi ataupun tunjangan uang makan dari UPN. Bisa dipikirkan, apa yang bias dilakukan seseorang dengan keluarganya dengan uang Rp 400.000,- sebulan? Belum lagi, apabila ada kebutuhan-kebutuhan tak terduga. Misalnya apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit, pastilah membutuhkan biaya lebih.
Namun, Sutotok tidak berputus asa. Siang hari jika pekerjaannya sudah selesai ia membantu pekerjaan Musaini yang berjualan di kantin Fakultas Pertanian. Dengan membantunya, ia bisa mendapatkan makan dan uang. Walaupun yang diberikan tidaklah banyak ia sudah sangat bersyukur karena ada orang yang mau membantunya.
Selain itu, sang istri, Srianah, mencoba membantu meringankan beban suaminya dngan berjualan nasi pecel di rumah mereka setiap pagi. Sutotok selalu bekerja keras. Sampai-sampai ia tidak pernah memikirkan suka duka bekerja di UPN “Veteran” Jatim, “Saya tidak pernah memikirkan suka duka bekerja di sini, cuma yang nggak enak ya gajinya sedikit,” tuturnya. Sikap tidak mudah putus asa, penuh semangat dan sabar yang mereka miliki memang patut untuk dicontoh.
Cleaning service memang bukan pekerjaan yang ringan, dating paling pagi dari orang lain dan harus pulang paling malam. Apalagi dengan upah yang begitu minim, tetapi pekerjaan yang begitu banyak. Namun, masih banyak saja orang yang memandang cleaning service hanya dengan sebelah mata atau bahkan tidak menghargai. Bayangkan jika mereka benar-benar tidak ada.
Ruang-ruang kelas yang setiap hari digunakan untuk kegiatan belajar mengajar pasti terasa tidak nyaman karena kotor. Ruang-ruang dosen yang selama ini nyaman, pasti tidak akan lagi terasa nyaman karena tidak ada yang membersihkan. Daun-daun kering yang jatuh berguguran pasti terlihat berserakan di latar-latar parkir, di taman-taman kampus dan pemandangan seperti itu mengurangi keindahan yang harusnya bias didapatkan apabila tempat-tempat itu terlihat rapi dan bersih.
Bisa dikatakan mereka adalah salahsatu penentu citra sebuah tempat mereka bekerja. Jika tempat itu bersih, maka akan banyak orang yang merasa nyaman. Jika UPN bisa selalu bersih karena mereka, maka akan banyak orang yang melirik UPN sebagai tempat melanjutkan studi selepas dari SMA. Dengan kenyataan seperti itu, maka rasanya tidak berlebihan jika orang-orang di sekitarnya mau peduli, memperhatikan dan sedikit saja menghargai pekerjaan mereka.
Namun, kampus yang kelihatan dari luar sangat megah dan mewah ini ternyata masih belum bisa mensejahterakan seluruh karyawannya. Seperti yang dikeluhkan Sutotok, ia tidak pernah mendapakan tunjangan apapun dari tempat kerjanya, kecuali tunjangan hari raya, “Saya kan orang luar jadi ya, saya tidak dapat tunjangan apapun dari sini,” tuturnya. Walaupun ia cuma sebagai seorang cleaning service, ia berharap bisa mendapatkan tunjangan dari pihak kampus, setidaknya uang makan atau sedikit kenaikkan gaji.

Membangun Kembali Negeri dengan Semangat Hari Pahlawan


Peristiwa itu terjadi enam puluh dua tahun yang lalu. Mayor Jenderal Mansergh mengultimatum arek-arek Suroboyo untuk menyerah sampai batas akhir tanggal 10 November 1945 pagi hari. Ketika batas akhir ultimatum tiba, arek-arek Suroboyo melakukan perlawanan secara kolosal. Mereka mengerahkan segenap jiwa, raga dan harta benda untuk sebuah kemerdekaan. Hari itu menjadi puncak perjuangan arek-arek Suroboyo dengan bekal kesederhanaan,ketulusan dan kesatuan untuk mempertahankan kedaulatan negara dari kolonialisme.
Hari bersejarah itu lahirdi kota ini. Kota dengan semangat juang tinggi. Kota dengan pahlawan bernama Bung Tomo yang belum resmi diangkat sebagai Pahlawan Nasional hingga kini. Jauh tanpa hal tersebut Surabayatelah berjuluk kota Pahlawan.
Tahun-tahun pertama dilalui dengan predikat sebagai kota Pahlawan, kebanggaan kuat tercermin dari semangat penerus kemerdekaan kala itu. Kota yang luluh lantak akibat peristiwa heroik nan berdarah, mampu dibangun kembali. Walau pun perlahan namun melahirkan Surabaya dengan unsur khas kepahlawanan. Jembatan merah menjadi saksi bisu. Jalan veteran terasa sangat kebelandaan. Begitu pun hotel Yamato yang telah beralih nama menjadi hotel Majapahit.
Wajah Surabaya telah banyak berubah. Hadiah kemerdekaan dari para pahlawan diisi generasi penerus dngan pembangunan yang berkembang pesat. Akan tetapi, generasi penerus belum memekikkan semangat juang sekencang pahlawan terdahulu.
Mengisi kemerdekaan tidak semudah ketika merebut. Napak tias dan derap langkah para pahlawan kini kurang mendapat tempat di hati para penerusnya. Apalagi jika berbicara semangat juang. Sekarang ini situasi dan kondisi semakin kompleks. Ketika perjuangan hanya dikaitkan dengan penjajahan dan kemerdekaan, maka bangsa mana lagi di dunia yang masih terjajah dan belum merdeka? Mungkin hanya Palestina. Surabaya bukanlah Palestina. Inggris ataupun NICA sudah tak manjajah Surabaya. Kota kita telah bebas dari penindasan sekutu.
Masalahnya, tanpa sadar generasi penerus menjajah dan menindas diri sendiri. Penjajahan itu terlihat dalam bentuk kemunduran moral dan kemalasan. Penindasannya berwujud tinadakan-tindakan semu berpangkal pada emosional. Kemalasan yang kian berakar, merambat pada kemunduran moral yang berakibat rendahnya pertahanan, patriotisme dan rasa juang generasi penerus.
Pola hidup santai. Meraih segala sesuatu tanpa bekerja keras. Lebih mudah menerima daripada memberi. Jelas! Memberi sesuatu yang kita punya atau kita dapatkan, memerlukan kebesaran hati. Sebuah modal yang belum dimiliki oleh sebagian besar generasi penerus. Berbeda dengan “menerima”. Posisi ini tak membutuhkan modal sebesar “memberi”. Diam, berpangku tangan lalu datanglah keajaiban. Mudah bukan? Maka dari situlah, penindasan mengatasnamakan penerimaan terjadi. Tanpa usaha nyata.
Pada akhirnya hanya menerima dan menikmati. Kemerdekaan sudahlah tentu hasil kerja keras para pahlawan untuk kita, generasi penerus. Hadiah itu lebih dari sekedar nafas dan harapan untuk hidup baru. Kehidupan dengan keteraturan, kemapanan, keharmonisan serta ketentraman.
Siswa-siswa di Surabaya masih banyak yang mengabaikan arti penting sebuah pendidikan. Kalaupun bersekolah, mungkin sebatas kehadiran, nilai-nilai tinggi pada mata pelajaran dan kegembiraan berkumpul dengan teman-teman. Para profesional pun tak sama berbeda. Keberhasilan dalam bertanggung jawab pada pekerjaan sudah tak diragukan. Tak jarang di antaranya yang mengambil pekerjaan tambahan. Orientasinya berujung pada materi. Mereka melupakan, bagaimana bekerja “atas nama” keluhuran bangsa?
Bisa dikatakan, generasi penerus telah mengabaikan tanggungjawab sebagai anak negeri yang terbiasa hidup “gemah ripah loh jinawi”,namun belum mampu menyikapi keadaannya sendiri. Mereka yang konon senantiasa “bersumpah pemuda” dengan meneladani nilai-nilai kepahlawanan. Dalam artian, menuntut ilmu untuk membangun bangsa yang cerdas dan bekerja keras untuk memperkokoh karakter kuat bangsa, sepertinya mulai lupa dengan sumpah mereka.
Sumpah pemuda dan hari Pahlawan tercetus dari satu semangat demi satu tujuan. Semangat juang pahlawan yangbertujuan mempertahankan kemerdekaan lahir maupun batin. Itulah dahaga arek-arek Suroboyo dalam momentum kepahlawan ini! Bangsa Indonesia, luasnya!
Sesungguhnya, tak ada penghargaan lebih mulia untuk para pahlawan dibanding dengan perjuangan yang diteruskan oleh generasi sesudah mereka. Tak ada kemerdekaan yang lebih hakiki dibanding dengan menghilangkan rasa takut untuk menyikapi permasalahan bangsa ini.

Written by : Encik Lila (Ilmu Komunikasi, 2006)

Berniat Mengantar Pacar, tapi Lolos Hingga Tahap Akhir

Pernah dengar nama Rizal Adikara? Cowok yang akrab dipanggil Ichang itu saat ini masih aktif kuliah di jurusan komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPN “Veteran” Jatim. Prestasi yang membuat dia lebih bermasyarakat, bahkan namanya bisa dibilang sudah dikenal seluruh masyarakat Surabaya adalah sebuah gelar Cak Surabaya yang saat ini disandangnya. Dukungan dari keluarga dan kawan-kawannya membuat Ichang semakin bersemangat mengikuti kontes tersebut, sehingga sekitar bulan Agustus 2007 lalu Ichang resmi terpilih Cak Surabaya dengan hadiah sebuah handphone dan berlibur ke Lombok pada 30 Oktober 2007.
Awal ceritanya, Ichang hanya berniat menemani pacarnya untuk mengikuti kontes Cak dan Ning Surabaya tersebut. Dia menuruti pacarnya untuk ikut menyerahkan formulir pendaftaran, meskipun tanpa ada niatan yang kuat untuk mengikutinya. Namun, ternyata justru Ichang berhasil lolos hingga tahap terakhir, sedangkan sang pacar terpaksa tersisih dalam penyaringan di tahap pertama
Anak pertama dari ketiga bersaudara itu baru memberitahu kedua orang tua saat dia akan masuk karantina dan sekaligus meminta tolong dukungan materi berupa pakaian yang akan ia kenakan saat ajang pemilihan Cak dan Ning Surabaya. Ichang mengaku bahwa dia lebih memilih memberitahu kedua orang tua tentang kontes-kontes yang ingin diikutinya saat dia sudah memenangkan kontes atau saat kontes tersebut telah berakhir namun, untunglah saat itu pihak keluarga tidak hanya memenuhi permintaan Ichang, namun juga memberikan dukungan moril untuknya. Tidak hanya pihak keluarga, pacar dan teman-temannya pun tak ingin ketinggalan memberikan dukungan hingga penyaringan tahap akhir.
Ichang tidak hanya dinobatkan sebagai Cak Surabaya, akan tetapi jugatelah dinanti oleh beberapa program kerja yang harus diselesaikan demi pengabdiannya kepada masyarakat. Tugas utamanya bersama Paguyuban Cak dan Ning Surabaya adalah melestarikan kawasan-kawasan wisata yang ada di Surabaya, seperti taman prestasi yang nantinya akan dikembangkan menjadi pusat wisata kuliner se-Surabaya. Untuk Hari pahlawan 10 November nanti mereka telah menyiapkan sebuah acara yang juga menjadi salah satu program kerja Cak dan Ning Surabaya tersebut. Namun, sampai saat ini masih ada kendala dari birokrasi yang mempimpong dalam perizinannya.
Sejalan dengan eksistensinya sebagai mahasiswa yang juga gemar dalam bidang fotografi, Ichang saat ini juga masih aktif di media fotografi, expose, di jurusannya. Ichang mengaku sangat kebingungan dalam mengatur waktu kuliah. Bisa dikatakan gelar barunya ini sangat mengganggu aktivitasnya, termasuk pekerjaannya. Namun, Ichang masih berharap pihak kampus dapat memberi dispensasi seiring tugasnya di luar.(ros)
Powered By Blogger