Kamis, 17 Januari 2008

Catatan Buram HAM di Indonesia


H.A.M., apakah itu? Suatu deklarasi universal yang mengakui persamaan hak-hak interprensi manusia, yang terwujud pada tanggal 10 desember 1948. Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan deklarasi universal yang memberikan sebuah pandangan baru tentang persamaan hak dan kewajiban manusia, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights (Deklasrasi Universal Hak-hak Manusia). Seiring dengan perkembangan politik dunia, Indonesia pun mengatur persamaan HAM dalam Undang-Undang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya TAP MPR No.XVII/MPR/1998 dan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No.26/2000 tentang peradilan HAM maupun UUD 1945 pada pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 29 ayat (2), pasal 30 ayat (1), dan pasal 31 ayat (1). Undang-undang tersebut jelas mengatur tentang perlindungan hak-hak manusia yang telah dimiliki seseorang sejak terlahir ke dunia dan memberikan dasar kekuatan hukum dan bagi pelanggaranya akan mendapatkan sangsi tegas atapun penjara.
Ironisnya dalam pelaksanaan kebebasan HAM di Indonesia, masih banyak sekali pelangaran yang dilakukan. Tidak tanggung-tangung, selain dari pihak sipil pelanggaran ini juga dilakukan oleh aparat militer maupun para pemimpin bangsa. Selama ini pengakuan, penghormatan, perlindungan dan penegakan terhadap nilai-nilai HAM di Indonesia masih menunjukkan fakta terjadinya pelanggaran yang cukup tinggi. Sejenak flash back pada tragedi semanggi dan trisakti. Betapa kekuatan militer dikerahkan untuk mempertahankan suatu pemerintahan yang berkuasa saat itu. Demostrasi yang pada akhirnya memakan korban yang cukup besar, baik nyawa maupun materiil. Semua kenyataan tersebut menjadi catatan buram pelaksanaan HAM di Indonesia yang sampai sekarang tidak ada penyelesaian secara jelas. Atau mungkinkah undang-undang tersebut hanyalah sebuah buku yang hanya menjadi sebuah wacana tanpa ada relalisasi dari apa yang seharusnya ada?
Belum lagi pelanggaran-pelanggaran HAM yang lebih memakan banyak korban, seperti pembuangan tahanan tak bersalah ke pulau Buru, konflik di Aceh, Papua, dan Kalimantan Timur (22 Juli 1996), maupun kejadian yang sempat gempar pada tahun 1965-1967 yang memakan korban hampir tiga juta warga negara yang tidak bersalah. Kejadian pada rezim orde lama itu adalah pemberontakan G30S PKI. Berkat kejadiab itu dunia internasional sempat menjuluki Indonesia sebagai the killing Indonesia (Indonesia Pembunuh).
Tentu ini bukan hanya sebuah catatan buruk bagi perkembangan politik saja, tapi juga mempengaruhi kondisi psikis/mental jutaan warga negara Indonesia yang nantinya mempengaruhi perkembangan bangsa Indonesia. Keadaan tersebut sebenarnya sangat kita rasakan di kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai contoh kita sering menonton berbagai perilaku dan tindakan penghilangan nyawa seseorang yang begitu mudah dilakukan, ini bisa dilihat dalam bentuk kriminalitas di masyarakat seperti pengeroyokan dan pembakaran massa terhadap pelaku kejahatan. Sering kali masyarakat begitu mudah melakukan pelanggaran hukum dan sekaligus HAM. Akibat dari betapa seringnya kita melakukan kesalahan-kesalahan yang pada akhirnya kesalahan tersebut dianggap suatu kebiasaan atau tradisi. Ataukah dampak ini merupakan suatu bentuk pemberontakan masyarakat Indonesia atas ketikdakadilan serta krisis ekonomi yang menyusahkan seluruh warga negara Indonesia?
Walaupun begitu setelah masa pemerintahan orde baru, muncul para tokoh yang memperjuangkan HAM di Indonesia. Namun, penegakan hukum atas pelanggaran HAM ini masih sangat sulit diwujudkan. Banyak kendala yang harus dilewati, karena para pelanggar HAM berat (orde baru) masih berkekuatan, meskipun mereka sudah tidak lagi menduduki kursi pemerintahan. Tentu kita masih ingat kematian Munir, salah seorang pahlawan HAM di Indonesia yang tewas dibunuh di dalam pesawat ketika akan berangkat ke Belanda. Kasus ini begitu pelik, bahkan setelah bertahun-tahun, pembunuh Munir belum juga berhasil ditemukan meskipun telah dibentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus ini. Hal ini merupakan salah satu kekuatan yang dimiliki para pelanggar HAM.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, mungkinkah pelanggaran ini bisa hilang bila ada ketegasan dari aparat penegak hukum? Atau memang benar aparat penegak hukum hanyalah sebuah simbol kekuatan tangan penguasa? Jika begitu kapan HAM di Indonesia bisa benar-benar terwujud?
Lama dan sulit serta lika-likunya perjuangan untuk keadilan bagi rakyat Indonesia, tidak boleh mengendurkan kehendak dan semangat juang untuk meneruskan usaha penegakan HAM di negeri tercinta Indonesia. Semoga cita-cita dan hasrat sepanjang masa bangsa ini untuk bisa hidup tenteram dan langgeng di Republik Indonesia yang didasarkan atas hukum dan HAM, akhirnya bisa terrealisasi.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger